a/ ;>

Teknologi buat Nyontek??? aw aw aw.....

Sabtu, 26 September 2009

Ini sebuah cerita waktu saya masih jaman sekolah di SMA, waktu itu saya udah kelas XII dan kembali harus menghadapi sebuah acara yang begitu membosankan namun tetap diperlukan yaitu Try Out, ini adalah Try Out resmi yang sudah memasuki level ketiga.

Dari Try Out pertama ampe Try Out ketiga ada satu hal yang membuat aku jadi kesel banget yaitu ternyata buat sekedar Try Out pun temen2 pada nyontek. Dengan adanya penggunaan teknologi di bidang contek-mencontek maka teknik yang dilakukan pun semakin beragam dan rapi. Penggunaan teknologi yang paling populer dalam dunia contek-menyontek adalah HaPe karena benda multifungsi itu bisa berubah menjadi kamus - kalkulator - buku catetan - kantor pos dll yang tentunya sangat mendukung suksesnya ujian

Biasanya trik yang digunakan adalah menggunakan hape yang mungil, keypadnya enak buat sms-an n gag berisik tentunya, disimpen di balik jilbab, selangkangan (beneran lho…) , kaos kaki , jaket , saku celana , di simpen di laci dan masih banyak trik kreatif lainnya. Bukan masalah yang susah untuk mendapatkan bocoran jawaban cukup sms aja ke “jaringan” maka pasti nilai bagus didapet.

format smsnya kayak gini nih

abdae acdac >> format jawaban 5 nomer

abdae acdac

abdae acdac

abdae acdac

format sms kayak gini lebih mudah dibaca darpada disambung semua atau dipisah semua (tuh kan pelajar indonesia tuh kreatif)

tapi…. TENTU AJA INI GAK FAIR

kejujuran harusnya tetep nomer satu, bayangin aja apa yang bakal terjadi pada Indonesia di masa datang jika pelajarnya kayak gini.

Sebenarnya ini merupakan bentuk penyalahgunaan teknologi, semakin canggih teknologi juga bisa berarti semakin canggih pula kejahatan yang bisa dilakukan. Namun memang tetap teknologi tidak dapat disalahkan karena itu hanyalah sebuah alat dan manusialah yang menentukan penggunaannya apakah itu menjadi baik ataupun buruk.

- mantan pelaku, sekarang udah tobat dan waktunya menyebarkan pesan kebaikan ini -

Arah Ke Utara, Belok ke Timur, Lalu ke Selatan, di Sebelah Barat Jalan

Senin, 18 Agustus 2008


"Mas, kalau mau ke Stasiun Tugu, lewat mana ya?"
"Oh...ini lurus saja ke arah Barat. Nanti kalau ketemu Tugu, belok ke arah Selatan. Stasiunnya ada di ujung jalan, sebelah Utara jalan."
"Ah..."

Di Jogja, sering kali orang memberi arah jalan bukan dengan kiri dan kanan, namun dengan menggunakan arah mata angin. Utara, Timur, Selatan, maupun Barat. Tak hanya di pedesaan, bahkan di kotanya, arah mata angin telah menjadi bagian tak terpisahkan dari suatu perjalanan. Bagi mereka yang tidak terbiasa, tentu saja ini kerap menyulitkan perjalanan mereka. Bahkan pengalaman ini membuat seorang kawan dari luar Jogja merasa harus memiliki kompas portable dan bertanya-tanya apakah kompas sebegitu pentingnya di Jogja.

Aneh memang, entah bagaimana seakan-akan semua masyarakat Jogja hafal arah mata angin, dimanapun dia berada. Tapi tampaknya ini merupakan kebiasaan yang menular. Bahkan saya pun yang sebelumnya buta arah mata angin, lama-kelamaan mulai terbiasa berpikir menggunakan landasan mata angin. Dan akhirnya saat ini pun sudah terjangkiti kebiasaan yang sama, yaitu memberikan arah dengan menggunakan kata utara, timur, selatan, dan barat, bukannya dengan kiri dan kanan.

Sebenarnya arah mata angin ini cukup mudah dilogika. Kalau Anda berpikir untuk mengamati jatuhnya bayangan benda yang terkena sinar matahari, itu akan sangat merepotkan. Rahasia arah mata angin di Jogja adalah kiblatnya. Bila dilihat di peta, Jogja terletak di sebelah selatan Gunung Merapi. Kota Jogja, tepat berada di sebelah selatan Gunung Merapi. Nah, Gunung Merapi inilah yang dijadikan kiblat untuk menetapkan arah mata angin di Jogja.

Di manapun di kota Jogja, Gunung Merapi akan menjadi arah utara. Dan jalan-jalan yang menuju menjauhi Gunung Merapi berarti ke arah Selatan. Sisanya dapat dilogika sendiri. Berkat acuan Gunung Merapi ini, orang pun dapat dengan mudah menentukan arah yang ia maksud.

Karenanya, jangan lagi bingung kalau ingin ke Alun-Alun Utara dan mendapat petunjuk, "Dari sini ke arah barat, sampai ketemu perempatan gedung BI. Terus belok ke arah Selatan. Nanti ketemu Alun-Alun Utara." Visualisasikan saja di benak Anda.

Merah-Kuning-Hijau dalam Hidup




"Tadi Angga telepon, kasih kabar ibunya Wiwi* meninggal." Berita tersebut sampai ke telinga saya sekitar dua detik setelah mata saya terbuka pagi itu.

Walau saya telah mendengar tentang penyakit yang beliau derita sejak beberapa minggu yang lalu, tetap saja tak menyangka ibu Wiwi akan meninggalkan dunia secepat ini. Satu berita mewarnai hidup pagi itu.

Meski tak semuanya terhubung secara langsung pada kehidupan saya, entah kenapa hari itu bisa dibilang hari yang penuh warna. Kebetulan, mungkin.

Warna hidup tak selalu harus merah, kuning, atau oranye. Atau warna-warna cerah lain yang identik dengan keceriaan. Tapi ada warna-warna yang jarang dianggap sebagai warna yang dapat ikut mewarnai hidup seseorang. Abu-abu, hitam, biru tua, coklat, dan putih tulang contohnya.

Hari itu, ayah saya berulang tahun. Seorang teman datang dari luar kota. Itu menyenangkan. Seorang teman kuliahku lulus pendadaran S2-nya. Itu juga berita yang menggembirakan.

Lalu kemudian masuk telepon yang memperingatkan deadline pekerjaan yang harus selesai secepatnya. Berita buruk pun berdatangan. Team futsal seorang teman kalah dalam pertandingan antar universitas. Dan yang paling menyedihkan adalah meninggalnya ibu Wiwi.

Di antaranya, berita-berita ringan juga muncul dan turut menorehkan warna-warna dalam hidup saya. Dan itu semua terjadi dalam satu hari. Karenanya, saya anggap itulah hari paling berwarna yang pernah saya alami dalam jangka waktu beberapa bulan terakhir ini.

Yah, hidup yang penuh warna memang tak harus melulu bewarna cerah. Seperti lukisan, kadang warna-warna lain justru dapat memperindah walau tak dapat langsung dilihat saat itu juga. Butuh waktu untuk menyelesaikan lukisan tersebut. Dan diperlukan jarak yang tepat agar dapat benar-benar merasakan keindahannya.

Batik dalam Tata Cara Pernikahan Jawa



Kain batik memang tak asing lagi bagi masyarakat Jawa terutama Jogja. Dalam berbagai acara, kain-kain ini sering menjadi pakaian resmi yang menunjukkan kekhasan daerah, begitu juga dalam upacara-upacara adat tertentu seperti perkawinan. Kain-kain bermotif unik dan tradisional ini dikenakan oleh hampir seluruh keluarga dan kerabat untuk menyambut hari bahagia, bersatunya dua manusia.

Sebelum dipersatukan dalam ikatan perkawinan yang sering disebut dengan istilah ijab, kedua calon pengantin dipingit (tidak diijinkan untuk bertemu). Sehari sebelumnya kedua mempelai harus menjalani upacara siraman (mandi kembang) di tempat masing-masing. Menurut salah satu empu rias pengantin, R. Sri Supadmi, kain yang digunakan dalam upacara ini tak boleh sembarangan. "Mereka harus menggunakan kain putih. Tetapi karena kain ini tembus pandang maka di dalamnya harus dilapisi batik," ungkap seorang ibu yang pernah menjadi penata rias di keraton selama pemerintahan HB IX ini.

Motif batik yang digunakan dalam upacara ini juga harus dipilah-pilah. Pada dasarnya banyak motif seperti sidoasih dan sidomukti yang dapat digunakan, tetapi ada beberapa motif yang menurut Bu Padmi memang menjadi pantangan karena maknanya yang kurang bagus. Motif itu antara lain parang rusak dan parang barong yang dipercaya dapat merusak.

Setelah disiram oleh orang tua dan penata rias yang juga menjadi dukun manten, calon pengantin perempuan dipersiapkan untuk menjalani malam midodareni. Ia kemudian harus mengenakan batik motif grompol, bermakna mengumpulkan. Pada malam midodareni, selain dirias dan mengenakan batik motif truntum yang bermakna tumbuh, pengantin perempuan sebenarnya tak boleh keluar kamar sama sekali. Namun menurut Bu Padmi yang banyak meraih penghargaan dari departemen kebudayaan ini, semua telah banyak berubah sekarang.

Perubahan itu bukan hanya terlihat dari pengantin yang tak lagi betah berada di kamar kemudian jalan-jalan keluar dan menemui tamu, tetapi juga pada pemakaian motif batik. Pada malam midodareni sekarang ini pengantin diperbolehkan untuk mengenakan motif lain seperti sidomukti dan semen (yang disamaartikan dengan semi). Selain itu juga sering terjadi pergeseran pemakaian motif batik pada orang tua mempelai yang menggunakan truntum yang diambil dari kata tumaruntum atau bertumbuh.

Pada waktu mengikat janji pernikahan atau ijab, motif batik yang digunakan juga fleksibel. Mereka dapat mengenakan berbagai motif entah itu sido mukti, sido asih maupun semen. Parang rusak, parang barong dan kawung besar tetap menjadi pantangan. Hal ini karena parang rusak berkonotasi negatif, parang barong hanya diperkenakan untuk para raja, sementara kawung besar adalah milik ahli agama.

Diakui oleh Supadmi yang menjadi perias bersama suaminya, R. Suwardanidjaja, bahwa memang tak semua orang tau akan hal ini. Untuk itulah setelah menjuarai lomba rias pengantin tiga kali berturut-turut pada tahun 1979, 1981, dan 1983, ia bersama suami kemudian membuat sebuah buku "Tata Rias Pengantin Gaya Yogyakarta" yang diterbitkan oleh gramedia.

Cara lain yang ditempuh oleh wanita yang terilhami untuk menjadi perias sejak kecil ini guna melestarikan budaya pernikahan adalah dengan membuka kursus bagi siapa saja yang ingin menjadi seorang perias pengantin. Selain belajar merias mulai dari membuat paes yang benar, peserta juga akan diajari menjalankan tata upacara pernikahan dengan berbagai urutan dan makna serta cara pelaksanaannya.

Semangat Bermain Karawitan, Siapa Bilang Generasi Muda Tak Lagi Mengenal Warisan Budaya


Semangat Bermain Karawitan, Siapa Bilang Generasi Muda Tak Lagi Mengenal Warisan Budaya

Celetukan banyak orang yang mengatakan bahwa generasi muda masa kini tak lagi mengenal kebudayaan yang merupakan warisan dari leluhur nampaknya perlu ditilik lagi. Lihat saja siswa-siswa SD Negeri Klodangan, Gamelan, Mrebah, Sleman. Kepiawaian mereka dalam memainkan alat musik tradisional gamelan mampu membuat penonton merinding berdecak kagum. Ini adalah salah satu bukti bahwa mereka yang hidup di tengah jaman permainan game ini masih mencintai budaya nenek moyang. Wajah mereka tak kalah ceria dengan saat bermain game.

Permainan lagu-lagu dolanan mulai dari 'Jaranan' hingga 'Suwe Ora Jamu' mereka mainkan sempurna lengkap dengan improvisasinya, pada panggung gembira, Minggu (26/11). Satu anak bahkan tak hanya mampu menguasai satu alat musik. Mereka berputar dan bergantian memainkan alat musik lain seperti bonang, kendang, gong dan sebagainya. Pada beberapa lagu, penonton tak hanya disuguhi oleh suara sang vokalis. Para pemain musik yang didominasi siswa laki-laki menambah meriah suasana dengan turut menimpali nyanyian serta memainkan gerakan tangan ketika sedang tidak mendapat giliran menabuh. Tak heran memang bila kelompok pimpinan Puthut Santosa Nugroho ini menyabet juara pertama pada lomba karawitan se-Jogja di Taman Budaya pada awal November lalu.

Pada pentas hasil kerjasama Taman Budaya Jogja dan Balai Budaya Minomartani ini mereka menampilkan komposisi Sandiya Kala. Karya ciptaan dari sang pelatih sendiri tersebut mengambil cerita tentang suasana sore hari dimana anak-anak biasa bermain di luar rumah. Tentang karya ciptaannya yang kedua ini, Puthut mengaku hanya butuh waktu satu bulan untuk menyiapkan siswa didiknya menuju perlombaan. Hasilnya sungguh mengagumkan, dua puluh siswa yang terdiri dari delapan belas pemain musik dan dua vokalis tampil maksimal mementaskan satu komposisi yang notasinya mencapai lima halaman tersebut.

Secara keseluruhan anggota karawitan SD Klodangan ini sebenarnya mencapai lima puluh orang, namun tidak semua dapat diikutkan dalam setiap pentas. Mereka bergantian pada setiap kesempatan pentas. "Biar semua kebagian," ungkap pelatih yang pada usia ke-25 telah memimpin tiga kelompok karawitan ini.

Lelaki jebolan ISI Jurusan Pedalangan ini mengaku bahwa antusiasme anak-anak terutama di SD yang ia pimpin cukup tinggi. Rata-rata memang benar-benar tertarik dengan gamelan. Salah satu contohnya adalah Janu yang kini duduk di kelas 4. Menurut sang ibu, anak ini sejak kecil memang sangat mencintai alat musik gamelan. Bahkan ia mempunyai mainan gamelan tiruan yang sering ia tabuh sejak balita. Kalau anak kecil saja berani mencintai seni tradisi kenapa orang dewasa harus malu?

Sambut Kemenangan dengan Grebeg Syawal

Setiap Idul Fitri, tradisi yang selalu dirayakan Kraton Jogja adalah Grebeg Syawal. Garebek yang pertama kali dilaksanakan pada masa Sultan Agung pada tahun 1613, selanjutnya Garebek disesuaikan dengan ajaran agama Islam yang membuatnya dilaksanakan pada hari-hari besar Islam. Pesta sebagai wujud rasa syukur setelah puasa sebulan penuh dalam Bulan Ramadhan serta menyambut fitrahnya Idul Fitri.

Perayaan grebegan dimuali pada jam 8 pagi. Diawali dengan arak-arakan gunungan dan prajurit Kraton dari Kemandungan menuju ke Alun-alun Utara. Hingga pada jam 10 pagi, arak-arakan tiba di Alun-alun Utara. Upacara grebegan ini melibatkan kurang lebih 600 prajurit Kraton yang ikut dalam arak-arakan. Prajurit-prajurit tersebut dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu Prajurit Daeng, Patangpuluh, Wirobrojo, Prawirotomo, Jogokaryo, Ketanggung, Nyutro dan Mantrijero. Kesemua prajurit tadi berbaris membentuk formasi suatu pagar betis yang menyambut gunungan yang diarak oleh para abdi dalem, Prajurit Bugis dan Prajurit Surokarso serta arakan kuda keluar dari Kraton.

Upacara dipimpin oleh kerabat Sultan, diawali dengan tembakan salvo, arak-arakan gunungan dibawa keluar dari Kraton menuju Masjid Gedhe Kauman. Sesampai di halaman Masjid, Gunungan diberkati oleh ulemas. Ribuan masyarakat menanti di halaman masjid untuk 'Ngalap Berkah', bersiap memperebutkan berbagai macam hasil bumi yang ada pada Gunungan. Setelah pemberkatan usai, ribuan masyarakat langsung menyerbu Gunungan dan berusaha mengambil hasil bumi tersebut.

Sesuai kepercayaan masyarakat Jawa, orang yang berhasil mendapat hasil bumi tersebut akan diberkati dengan kehidupan yang baik. Para petani menanam hasil rayahannya pada lahan, dengan harapan sawahnya akan subur. Masyarakat lain menggantungkan hasil bumi tersebut pada pintu rumah dengan harapan kehidupannya akan selalu dan bertambah baik. Kepercayaan ini masih tetap kuat bagi masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa masih setia dan percaya Karaton sebagi pusat pemerintahan Jogja sekaligus sebagai sumber energi yang dipercayai. Sedangkan Sultan masih sebagai sosok yang penuh kharisma dan menjadi kebanggaan masyarakat Jawa.

Selain dilakukan pada 1 Syawal, Grebegan juga dilakukan pada 12 Maulud, dan 10 Besar, yang bertepatan dengan pewringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, dan Idul Adha. Pada perayaan 12 Maulud, perayaan Grebegan terdiri dari 6 Gunungan. Terdiri dari 2 Gunungan Kakung (laki-laki), Estri (perempuan), Gunungan Dharat, Gepak, dan Gunungan Pawuhan. Satu gunungan kakung diarak dari Kraton Yogyakarta menuju Karaton Pakualaman. Pengantaran gunungan ini juga melibatkan arak-arakan prajurit kraton, kuda serta gajah menuju Kraton Pakualaman.

Arak-Arakan ini menjadi tontonan yang selalu ditunggu oleh warga Jogja. Sepanjang jalan menuju Kraton Pakualaman, yaitu Jl. P. Senopati dan Jl. Sultan Agung, selalu dipadati masyarakat yang ingin menonton arak-aralkan ini. Di Halaman Kraton Pakualaman juga sudah menunggu ribuan masyarakat jogja yang hendak memperebutkan Gunungan. Sesampainya Gunungan di Halaman Pakualaman, ribuan orang langsung memperebutkannya. Perayaan Grebegan selalu diikuti dengan perayaan pasar rakyat yang mengambil tempat di halaman Pakualaman selama beberapa
hari.

Selapanan, Peringati Weton Bayi


Dalam budaya Jawa, kelahiran seorang anak manusia ke dunia, selain merupakan anugerah yang sangat besar, juga mempunyai makna tertentu. Oleh karena itu, pada masa mengandung bayi hingga bayi lahir, masyarakat Jawa mempunyai beberapa uapacara adat untuk menyambut kelahiran bayi tersebut. Upacara-upacara tersebut antara lain adalah mitoni, upacara mendhem ari-ari, brokohan, upacara puputan, sepasaran dan selapanan.

Selapanan dilakukan 35 hari setelah kelahiran bayi. Pada hari ke 35 ini, hari lahir si bayi akan terulang lagi. Misalnya bayi yang lahir hari Rabu Pon (hari weton-nya), maka selapanannya akan jatuh di Hari Rabu Pon lagi. Pada penanggalan Jawa, yang berjumlah 5 (Wage, Pahing, Pon, Kliwon, Legi) akan bertemu pada hari 35 dengan hari di penanggalan masehi yang berjumlah 7 hari. Logikanya, hari ke 35, maka akan bertemu angka dari kelipatan 5 dan 7. Di luar logika itu, selapanan mempunyai makna yang sangat kuat bagi kehidupan si bayi. Berulangnya hari weton bayi, pantas untuk dirayakan seperti ulang tahun. Namun selapanan utamanya dilakukan sebagai wujud syukur atas kelahiran dan kesehatan bayi.

Yang pertama dilakukan dalam rangkaian selapanan, adalah potong rambut atau parasan. Pemotongan rambut pertama-tama dilakukan oleh ayah dan ibu bayi, kemudian dilanjutkan oleh sesepuh bayi. Di bagian ini aturannya, rambut bayi dipotong habis. Potong rambut ini dilakukan untuk mendapatkan rambut bayi yang benar-benar bersih, diyakini rambut bayi asli adalah bawaan dari lahir, yang masih terkena air ketuban. Alasan lainnya adalah supaya rambut bayi bisa tumbuh bagus, oleh karena itu rambut bayi paling tidak digunduli sebanyak 3 kali. Namun pada tradisi potong rambut ini, beberapa orang ada yang takut untuk menggunduli bayinya, maka pemotongan rambut hanya dilakukan seperlunya, tidak digundul, hanya untuk simbolisasi.

Setelah potong rambut, dilakukan pemotongan kuku bayi. Dalam rangkaian ini, dilakukan pembacaan doa-doa untuk keselamatan dan kebaikan bayi dan keluarganya. Upacara pemotongan rambut bayi ini dilakukan setelah waktu salat Maghrib, dan dihadiri oleh keluarga, kerabat, dan tetangga terdekat, serta pemimpin doa.

Acara selapanan dilakukan dalam suasana yang sesederhana mungkin. Sore harinya, sebelum pemotongan rambut, masyarakat merayakan selapanan biasanya membuat bancaan yang dibagikan ke kerabat dan anak-anak kecil di seputaran tempat tinggalnya. Bancaan mengandung makna agar si bayi bisa membagi kebahagiaan bagi orang di sekitarnya.

Adapun makanan wajib yang ada dalam paket bancaan, yaitu nasi putih dan gudangan, yang dibagikan di pincuk dari daun pisang. Menurut Mardzuki, seorang ustadz yang kerap mendoakan acara selapanan, sayuran yang digunakan untuk membuat gudangan, sebaiknya jumlahnya ganjil, karena dalam menurut keyakinan, angka ganjil merupakan angka keberuntungan. Gudangan juga dilengkapi dengan potongan telur rebus atau telur pindang, telur ini melambangkan asal mulanya kehidupan. Selain itu juga beberapa sayuran dianggap mengandung suatu makna tertentu, seperti kacang panjang, agar bayi panjang umur, serta bayem, supaya bayi hidupanya bisa tenteram