a/ ;>

Arah Ke Utara, Belok ke Timur, Lalu ke Selatan, di Sebelah Barat Jalan

Senin, 18 Agustus 2008


"Mas, kalau mau ke Stasiun Tugu, lewat mana ya?"
"Oh...ini lurus saja ke arah Barat. Nanti kalau ketemu Tugu, belok ke arah Selatan. Stasiunnya ada di ujung jalan, sebelah Utara jalan."
"Ah..."

Di Jogja, sering kali orang memberi arah jalan bukan dengan kiri dan kanan, namun dengan menggunakan arah mata angin. Utara, Timur, Selatan, maupun Barat. Tak hanya di pedesaan, bahkan di kotanya, arah mata angin telah menjadi bagian tak terpisahkan dari suatu perjalanan. Bagi mereka yang tidak terbiasa, tentu saja ini kerap menyulitkan perjalanan mereka. Bahkan pengalaman ini membuat seorang kawan dari luar Jogja merasa harus memiliki kompas portable dan bertanya-tanya apakah kompas sebegitu pentingnya di Jogja.

Aneh memang, entah bagaimana seakan-akan semua masyarakat Jogja hafal arah mata angin, dimanapun dia berada. Tapi tampaknya ini merupakan kebiasaan yang menular. Bahkan saya pun yang sebelumnya buta arah mata angin, lama-kelamaan mulai terbiasa berpikir menggunakan landasan mata angin. Dan akhirnya saat ini pun sudah terjangkiti kebiasaan yang sama, yaitu memberikan arah dengan menggunakan kata utara, timur, selatan, dan barat, bukannya dengan kiri dan kanan.

Sebenarnya arah mata angin ini cukup mudah dilogika. Kalau Anda berpikir untuk mengamati jatuhnya bayangan benda yang terkena sinar matahari, itu akan sangat merepotkan. Rahasia arah mata angin di Jogja adalah kiblatnya. Bila dilihat di peta, Jogja terletak di sebelah selatan Gunung Merapi. Kota Jogja, tepat berada di sebelah selatan Gunung Merapi. Nah, Gunung Merapi inilah yang dijadikan kiblat untuk menetapkan arah mata angin di Jogja.

Di manapun di kota Jogja, Gunung Merapi akan menjadi arah utara. Dan jalan-jalan yang menuju menjauhi Gunung Merapi berarti ke arah Selatan. Sisanya dapat dilogika sendiri. Berkat acuan Gunung Merapi ini, orang pun dapat dengan mudah menentukan arah yang ia maksud.

Karenanya, jangan lagi bingung kalau ingin ke Alun-Alun Utara dan mendapat petunjuk, "Dari sini ke arah barat, sampai ketemu perempatan gedung BI. Terus belok ke arah Selatan. Nanti ketemu Alun-Alun Utara." Visualisasikan saja di benak Anda.

Merah-Kuning-Hijau dalam Hidup




"Tadi Angga telepon, kasih kabar ibunya Wiwi* meninggal." Berita tersebut sampai ke telinga saya sekitar dua detik setelah mata saya terbuka pagi itu.

Walau saya telah mendengar tentang penyakit yang beliau derita sejak beberapa minggu yang lalu, tetap saja tak menyangka ibu Wiwi akan meninggalkan dunia secepat ini. Satu berita mewarnai hidup pagi itu.

Meski tak semuanya terhubung secara langsung pada kehidupan saya, entah kenapa hari itu bisa dibilang hari yang penuh warna. Kebetulan, mungkin.

Warna hidup tak selalu harus merah, kuning, atau oranye. Atau warna-warna cerah lain yang identik dengan keceriaan. Tapi ada warna-warna yang jarang dianggap sebagai warna yang dapat ikut mewarnai hidup seseorang. Abu-abu, hitam, biru tua, coklat, dan putih tulang contohnya.

Hari itu, ayah saya berulang tahun. Seorang teman datang dari luar kota. Itu menyenangkan. Seorang teman kuliahku lulus pendadaran S2-nya. Itu juga berita yang menggembirakan.

Lalu kemudian masuk telepon yang memperingatkan deadline pekerjaan yang harus selesai secepatnya. Berita buruk pun berdatangan. Team futsal seorang teman kalah dalam pertandingan antar universitas. Dan yang paling menyedihkan adalah meninggalnya ibu Wiwi.

Di antaranya, berita-berita ringan juga muncul dan turut menorehkan warna-warna dalam hidup saya. Dan itu semua terjadi dalam satu hari. Karenanya, saya anggap itulah hari paling berwarna yang pernah saya alami dalam jangka waktu beberapa bulan terakhir ini.

Yah, hidup yang penuh warna memang tak harus melulu bewarna cerah. Seperti lukisan, kadang warna-warna lain justru dapat memperindah walau tak dapat langsung dilihat saat itu juga. Butuh waktu untuk menyelesaikan lukisan tersebut. Dan diperlukan jarak yang tepat agar dapat benar-benar merasakan keindahannya.

Batik dalam Tata Cara Pernikahan Jawa



Kain batik memang tak asing lagi bagi masyarakat Jawa terutama Jogja. Dalam berbagai acara, kain-kain ini sering menjadi pakaian resmi yang menunjukkan kekhasan daerah, begitu juga dalam upacara-upacara adat tertentu seperti perkawinan. Kain-kain bermotif unik dan tradisional ini dikenakan oleh hampir seluruh keluarga dan kerabat untuk menyambut hari bahagia, bersatunya dua manusia.

Sebelum dipersatukan dalam ikatan perkawinan yang sering disebut dengan istilah ijab, kedua calon pengantin dipingit (tidak diijinkan untuk bertemu). Sehari sebelumnya kedua mempelai harus menjalani upacara siraman (mandi kembang) di tempat masing-masing. Menurut salah satu empu rias pengantin, R. Sri Supadmi, kain yang digunakan dalam upacara ini tak boleh sembarangan. "Mereka harus menggunakan kain putih. Tetapi karena kain ini tembus pandang maka di dalamnya harus dilapisi batik," ungkap seorang ibu yang pernah menjadi penata rias di keraton selama pemerintahan HB IX ini.

Motif batik yang digunakan dalam upacara ini juga harus dipilah-pilah. Pada dasarnya banyak motif seperti sidoasih dan sidomukti yang dapat digunakan, tetapi ada beberapa motif yang menurut Bu Padmi memang menjadi pantangan karena maknanya yang kurang bagus. Motif itu antara lain parang rusak dan parang barong yang dipercaya dapat merusak.

Setelah disiram oleh orang tua dan penata rias yang juga menjadi dukun manten, calon pengantin perempuan dipersiapkan untuk menjalani malam midodareni. Ia kemudian harus mengenakan batik motif grompol, bermakna mengumpulkan. Pada malam midodareni, selain dirias dan mengenakan batik motif truntum yang bermakna tumbuh, pengantin perempuan sebenarnya tak boleh keluar kamar sama sekali. Namun menurut Bu Padmi yang banyak meraih penghargaan dari departemen kebudayaan ini, semua telah banyak berubah sekarang.

Perubahan itu bukan hanya terlihat dari pengantin yang tak lagi betah berada di kamar kemudian jalan-jalan keluar dan menemui tamu, tetapi juga pada pemakaian motif batik. Pada malam midodareni sekarang ini pengantin diperbolehkan untuk mengenakan motif lain seperti sidomukti dan semen (yang disamaartikan dengan semi). Selain itu juga sering terjadi pergeseran pemakaian motif batik pada orang tua mempelai yang menggunakan truntum yang diambil dari kata tumaruntum atau bertumbuh.

Pada waktu mengikat janji pernikahan atau ijab, motif batik yang digunakan juga fleksibel. Mereka dapat mengenakan berbagai motif entah itu sido mukti, sido asih maupun semen. Parang rusak, parang barong dan kawung besar tetap menjadi pantangan. Hal ini karena parang rusak berkonotasi negatif, parang barong hanya diperkenakan untuk para raja, sementara kawung besar adalah milik ahli agama.

Diakui oleh Supadmi yang menjadi perias bersama suaminya, R. Suwardanidjaja, bahwa memang tak semua orang tau akan hal ini. Untuk itulah setelah menjuarai lomba rias pengantin tiga kali berturut-turut pada tahun 1979, 1981, dan 1983, ia bersama suami kemudian membuat sebuah buku "Tata Rias Pengantin Gaya Yogyakarta" yang diterbitkan oleh gramedia.

Cara lain yang ditempuh oleh wanita yang terilhami untuk menjadi perias sejak kecil ini guna melestarikan budaya pernikahan adalah dengan membuka kursus bagi siapa saja yang ingin menjadi seorang perias pengantin. Selain belajar merias mulai dari membuat paes yang benar, peserta juga akan diajari menjalankan tata upacara pernikahan dengan berbagai urutan dan makna serta cara pelaksanaannya.

Semangat Bermain Karawitan, Siapa Bilang Generasi Muda Tak Lagi Mengenal Warisan Budaya


Semangat Bermain Karawitan, Siapa Bilang Generasi Muda Tak Lagi Mengenal Warisan Budaya

Celetukan banyak orang yang mengatakan bahwa generasi muda masa kini tak lagi mengenal kebudayaan yang merupakan warisan dari leluhur nampaknya perlu ditilik lagi. Lihat saja siswa-siswa SD Negeri Klodangan, Gamelan, Mrebah, Sleman. Kepiawaian mereka dalam memainkan alat musik tradisional gamelan mampu membuat penonton merinding berdecak kagum. Ini adalah salah satu bukti bahwa mereka yang hidup di tengah jaman permainan game ini masih mencintai budaya nenek moyang. Wajah mereka tak kalah ceria dengan saat bermain game.

Permainan lagu-lagu dolanan mulai dari 'Jaranan' hingga 'Suwe Ora Jamu' mereka mainkan sempurna lengkap dengan improvisasinya, pada panggung gembira, Minggu (26/11). Satu anak bahkan tak hanya mampu menguasai satu alat musik. Mereka berputar dan bergantian memainkan alat musik lain seperti bonang, kendang, gong dan sebagainya. Pada beberapa lagu, penonton tak hanya disuguhi oleh suara sang vokalis. Para pemain musik yang didominasi siswa laki-laki menambah meriah suasana dengan turut menimpali nyanyian serta memainkan gerakan tangan ketika sedang tidak mendapat giliran menabuh. Tak heran memang bila kelompok pimpinan Puthut Santosa Nugroho ini menyabet juara pertama pada lomba karawitan se-Jogja di Taman Budaya pada awal November lalu.

Pada pentas hasil kerjasama Taman Budaya Jogja dan Balai Budaya Minomartani ini mereka menampilkan komposisi Sandiya Kala. Karya ciptaan dari sang pelatih sendiri tersebut mengambil cerita tentang suasana sore hari dimana anak-anak biasa bermain di luar rumah. Tentang karya ciptaannya yang kedua ini, Puthut mengaku hanya butuh waktu satu bulan untuk menyiapkan siswa didiknya menuju perlombaan. Hasilnya sungguh mengagumkan, dua puluh siswa yang terdiri dari delapan belas pemain musik dan dua vokalis tampil maksimal mementaskan satu komposisi yang notasinya mencapai lima halaman tersebut.

Secara keseluruhan anggota karawitan SD Klodangan ini sebenarnya mencapai lima puluh orang, namun tidak semua dapat diikutkan dalam setiap pentas. Mereka bergantian pada setiap kesempatan pentas. "Biar semua kebagian," ungkap pelatih yang pada usia ke-25 telah memimpin tiga kelompok karawitan ini.

Lelaki jebolan ISI Jurusan Pedalangan ini mengaku bahwa antusiasme anak-anak terutama di SD yang ia pimpin cukup tinggi. Rata-rata memang benar-benar tertarik dengan gamelan. Salah satu contohnya adalah Janu yang kini duduk di kelas 4. Menurut sang ibu, anak ini sejak kecil memang sangat mencintai alat musik gamelan. Bahkan ia mempunyai mainan gamelan tiruan yang sering ia tabuh sejak balita. Kalau anak kecil saja berani mencintai seni tradisi kenapa orang dewasa harus malu?

Sambut Kemenangan dengan Grebeg Syawal

Setiap Idul Fitri, tradisi yang selalu dirayakan Kraton Jogja adalah Grebeg Syawal. Garebek yang pertama kali dilaksanakan pada masa Sultan Agung pada tahun 1613, selanjutnya Garebek disesuaikan dengan ajaran agama Islam yang membuatnya dilaksanakan pada hari-hari besar Islam. Pesta sebagai wujud rasa syukur setelah puasa sebulan penuh dalam Bulan Ramadhan serta menyambut fitrahnya Idul Fitri.

Perayaan grebegan dimuali pada jam 8 pagi. Diawali dengan arak-arakan gunungan dan prajurit Kraton dari Kemandungan menuju ke Alun-alun Utara. Hingga pada jam 10 pagi, arak-arakan tiba di Alun-alun Utara. Upacara grebegan ini melibatkan kurang lebih 600 prajurit Kraton yang ikut dalam arak-arakan. Prajurit-prajurit tersebut dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu Prajurit Daeng, Patangpuluh, Wirobrojo, Prawirotomo, Jogokaryo, Ketanggung, Nyutro dan Mantrijero. Kesemua prajurit tadi berbaris membentuk formasi suatu pagar betis yang menyambut gunungan yang diarak oleh para abdi dalem, Prajurit Bugis dan Prajurit Surokarso serta arakan kuda keluar dari Kraton.

Upacara dipimpin oleh kerabat Sultan, diawali dengan tembakan salvo, arak-arakan gunungan dibawa keluar dari Kraton menuju Masjid Gedhe Kauman. Sesampai di halaman Masjid, Gunungan diberkati oleh ulemas. Ribuan masyarakat menanti di halaman masjid untuk 'Ngalap Berkah', bersiap memperebutkan berbagai macam hasil bumi yang ada pada Gunungan. Setelah pemberkatan usai, ribuan masyarakat langsung menyerbu Gunungan dan berusaha mengambil hasil bumi tersebut.

Sesuai kepercayaan masyarakat Jawa, orang yang berhasil mendapat hasil bumi tersebut akan diberkati dengan kehidupan yang baik. Para petani menanam hasil rayahannya pada lahan, dengan harapan sawahnya akan subur. Masyarakat lain menggantungkan hasil bumi tersebut pada pintu rumah dengan harapan kehidupannya akan selalu dan bertambah baik. Kepercayaan ini masih tetap kuat bagi masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa masih setia dan percaya Karaton sebagi pusat pemerintahan Jogja sekaligus sebagai sumber energi yang dipercayai. Sedangkan Sultan masih sebagai sosok yang penuh kharisma dan menjadi kebanggaan masyarakat Jawa.

Selain dilakukan pada 1 Syawal, Grebegan juga dilakukan pada 12 Maulud, dan 10 Besar, yang bertepatan dengan pewringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, dan Idul Adha. Pada perayaan 12 Maulud, perayaan Grebegan terdiri dari 6 Gunungan. Terdiri dari 2 Gunungan Kakung (laki-laki), Estri (perempuan), Gunungan Dharat, Gepak, dan Gunungan Pawuhan. Satu gunungan kakung diarak dari Kraton Yogyakarta menuju Karaton Pakualaman. Pengantaran gunungan ini juga melibatkan arak-arakan prajurit kraton, kuda serta gajah menuju Kraton Pakualaman.

Arak-Arakan ini menjadi tontonan yang selalu ditunggu oleh warga Jogja. Sepanjang jalan menuju Kraton Pakualaman, yaitu Jl. P. Senopati dan Jl. Sultan Agung, selalu dipadati masyarakat yang ingin menonton arak-aralkan ini. Di Halaman Kraton Pakualaman juga sudah menunggu ribuan masyarakat jogja yang hendak memperebutkan Gunungan. Sesampainya Gunungan di Halaman Pakualaman, ribuan orang langsung memperebutkannya. Perayaan Grebegan selalu diikuti dengan perayaan pasar rakyat yang mengambil tempat di halaman Pakualaman selama beberapa
hari.

Selapanan, Peringati Weton Bayi


Dalam budaya Jawa, kelahiran seorang anak manusia ke dunia, selain merupakan anugerah yang sangat besar, juga mempunyai makna tertentu. Oleh karena itu, pada masa mengandung bayi hingga bayi lahir, masyarakat Jawa mempunyai beberapa uapacara adat untuk menyambut kelahiran bayi tersebut. Upacara-upacara tersebut antara lain adalah mitoni, upacara mendhem ari-ari, brokohan, upacara puputan, sepasaran dan selapanan.

Selapanan dilakukan 35 hari setelah kelahiran bayi. Pada hari ke 35 ini, hari lahir si bayi akan terulang lagi. Misalnya bayi yang lahir hari Rabu Pon (hari weton-nya), maka selapanannya akan jatuh di Hari Rabu Pon lagi. Pada penanggalan Jawa, yang berjumlah 5 (Wage, Pahing, Pon, Kliwon, Legi) akan bertemu pada hari 35 dengan hari di penanggalan masehi yang berjumlah 7 hari. Logikanya, hari ke 35, maka akan bertemu angka dari kelipatan 5 dan 7. Di luar logika itu, selapanan mempunyai makna yang sangat kuat bagi kehidupan si bayi. Berulangnya hari weton bayi, pantas untuk dirayakan seperti ulang tahun. Namun selapanan utamanya dilakukan sebagai wujud syukur atas kelahiran dan kesehatan bayi.

Yang pertama dilakukan dalam rangkaian selapanan, adalah potong rambut atau parasan. Pemotongan rambut pertama-tama dilakukan oleh ayah dan ibu bayi, kemudian dilanjutkan oleh sesepuh bayi. Di bagian ini aturannya, rambut bayi dipotong habis. Potong rambut ini dilakukan untuk mendapatkan rambut bayi yang benar-benar bersih, diyakini rambut bayi asli adalah bawaan dari lahir, yang masih terkena air ketuban. Alasan lainnya adalah supaya rambut bayi bisa tumbuh bagus, oleh karena itu rambut bayi paling tidak digunduli sebanyak 3 kali. Namun pada tradisi potong rambut ini, beberapa orang ada yang takut untuk menggunduli bayinya, maka pemotongan rambut hanya dilakukan seperlunya, tidak digundul, hanya untuk simbolisasi.

Setelah potong rambut, dilakukan pemotongan kuku bayi. Dalam rangkaian ini, dilakukan pembacaan doa-doa untuk keselamatan dan kebaikan bayi dan keluarganya. Upacara pemotongan rambut bayi ini dilakukan setelah waktu salat Maghrib, dan dihadiri oleh keluarga, kerabat, dan tetangga terdekat, serta pemimpin doa.

Acara selapanan dilakukan dalam suasana yang sesederhana mungkin. Sore harinya, sebelum pemotongan rambut, masyarakat merayakan selapanan biasanya membuat bancaan yang dibagikan ke kerabat dan anak-anak kecil di seputaran tempat tinggalnya. Bancaan mengandung makna agar si bayi bisa membagi kebahagiaan bagi orang di sekitarnya.

Adapun makanan wajib yang ada dalam paket bancaan, yaitu nasi putih dan gudangan, yang dibagikan di pincuk dari daun pisang. Menurut Mardzuki, seorang ustadz yang kerap mendoakan acara selapanan, sayuran yang digunakan untuk membuat gudangan, sebaiknya jumlahnya ganjil, karena dalam menurut keyakinan, angka ganjil merupakan angka keberuntungan. Gudangan juga dilengkapi dengan potongan telur rebus atau telur pindang, telur ini melambangkan asal mulanya kehidupan. Selain itu juga beberapa sayuran dianggap mengandung suatu makna tertentu, seperti kacang panjang, agar bayi panjang umur, serta bayem, supaya bayi hidupanya bisa tenteram


Mila's Silver

Tak salah lagi, perak kian hari kian diminati berbagai kalangan. Baik untuk perhiasan tubuh atau sekedar pajangan di rumah. Karenanya, tak dapat dipungkiri lagi bahwa perusahaan berbasis perak pun bertambah seiring dengan meningkatnya permintaan dari masyarakat. Salah satunya adalah Mila's Silver yang terletak di pusat perak Jogja, Kotagede.

Dengan melihat nama tokonya saja, sebagian dari kita pasti udah menduga bahwa Mila adalah nama dari salah satu anggota keluarga sang pemilik. Begitulah adanya, Mila memang nama anak perempuan satu-satunya sang pemilik, Bapak H.M Dhofir. Mila's silver adalah salah satu toko perak yang memiliki bangunan cukup besar. Papan namanya pun cukup besar sehingga tidak akan sulit untuk menemukannya. Sesuai dengan tempatnya yang luas, Mila's Silver menyediakan berbagai macam produk dari perak dengan kreasi yang bermacam-macam pula. Perhiasan perak mulai dari kalung, cincin, liontin, anting-anting, sampai dengan bros tersedia dalam banyak model.

Salah satu yang menarik adalah perhiasan yang dibuat dengan perpaduan batu-batu mulia yang beraneka warna. Batu-batu tersebut semakin mempercantik warna keperakan yang ada. Mila's Silver juga menyediakan satu paket perhiasan yang senada, jadi Anda yang tidak suka repot memilih model tinggal memilih satu rangkaian perhiasan saja.

Selain perhiasan, berbagai miniatur seperti kapal (berbagai model), orang bermain golf, rumah adat berbagai daerah, miniatur binatang, dapat diperoleh untuk pajangan di rumah. Hampir sebagian besar miniatur terbuat dari viligree atau benang perak sehingga hasil kerajinan ini sangat lembut. Ada juga hiasan dinding yang berbentuk ikan, tokoh pewayangan, pot bunga, becak, dan juga bunga. Hiasan itu ditaruh dalam sebuah pigura dan ditutup dengan kaca sehingga mirip lukisan timbul.

Selain itu semua, masih banyak pernik lain yang dimiliki Mila's Silver, yang tak mungkin disebutkan satu per satu. Bisa dikatakan kalau ini adalah toko perak serba ada. Karenanya, jika Anda berbelanja perak dengan banyak anggota keluarga atau rekan kerja yang menginginkan kerajinan perak yang bermacam-macam, silakan kunjungi Mila's Silver.

Berapa banyak uang yang ingin Anda belanjakan di Mila's Silver? Apakah Rp 200.000,-, Rp 400.000,-, atau bahkan lebih dari itu? Kalau demikian, Anda tidak perlu repot membawa uang tunai, karena Mila's Silver menerima kartu kredit. Cukup tenang kan? Tapi buat Anda yang belanja hanya sekian puluh ribu rupiah, juga jangan merasa ragu, karena bagi Mila's Silver, pembeli adalah raja.

Mila's Silver yang berdiri sejak bulan Juli 1988 ini tidak memberikan Anda tawar-menawar soal harga, tapi mereka akan langsung memberikan diskon sebesar 25% begitu Anda membeli barang. Yah, kalau Anda masih bersikeras ingin menawar, coba saja, siapa tahu sang pemilik luluh hatinya, apalagi jika Anda membeli dalam jumlah yang besar.

Mila's Silver bukan hanya sekedar toko, tapi juga produsen sekaligus desainer jadi tentu saja menerima berbagai pesanan. Kalau Anda mau pesan perak asli, perak campuran dengan logam yang lain, logam lain dengan sepuhan perak, atau bahkan perak disepuh dengan emas, Mila's Silver siap! Mila's Silver terletak di Jln. Kemasan 52, Kotagede, Jogja dan siap membantu Anda via telepon di 0274-71489

Wingko Susilowati, Gunakan Hasil Desa Sendiri


Berawal dari keinginan untuk menggunakan hasil desanya secara maksimal, Ibu Susilowati kini berhasil membangun usahanya sebagai pembuat wingko babat. Desanya yang terletak di Wates, Kulon Progo, mempunyai hasil pertanian yang cukup bisa diandalkan. Terlebih lagi, suaminya mempunyai lahan yang ditanami beras ketan. Dengan segala hasil tersebut, berdirilah usaha di bawah nama bendera Wingko Susilowati.

Ibu Susilowati sendiri awalnya juga tak tahu menahu tentang seluk beluk wingko. Yang ia tahu hanyalah bahwa makanan yang berbahan dasar tepung ketan, kelapa dan gula pasir ini merupakan khas Semarang . Akhirnya, cuma dari mecicipi saja, ia kemudian berusaha membuat wingko sendiri. "Bahkan saya pun sampai sekarang belum pernah mencicipi winko yang asli Semarang," aku ibu 1 anak ini.

Pada awal berdirinya tahun 1990, Winko Susilowati ini dipasarkan dengan cara dititipkan ke toko oleh-oleh di Kulon Progo. Ibu Susilowati sendiri yang memasarkannya dengan cara berkeliling dengan motor bebeknya. Jika tak kenal maka tak sayang. Prinsip ini yang dipegang Ibu Susilowati. Oleh karena itu, ia berusaha keras untuk memperkenalkan wingkonya pada masyarakat. Pada akhirnya ketika masyarakat sudah mengenal, mereka akan mencari sendiri Wingko Susilowati. Dan akhirnya Ibu Susilowati membuka kios sendiri di Jl. Kol. Sugiono No. 41 Wates, Kulon Progo. Dan beberapa tahun kemudian membuka cabang di Jl. Menukan MG III/972, Karangkajen, Jogja.

Menurutnya keunggulan dari Wingko Susilowati adalah bahan-bahannya yang ia ambil dari lingkungan sekitarnya. Ia mengetahui pasti kualitas bahan yang digunakan. Wingko Susilowati mempunyai rasa yang pas. Wingko yang dihasilkan tidak begitu keras, masih ada empuk-empuknya. Untuk rasa manisnya pun juga pas, tidak terlalu manis. Untuk produksinya, wingko ini membutuhkan waktu sekitar 4 jam hingga selesai di oven. Dalam beberapa kesempatan, jika cara membuatnya ada yang kurang, rasa tepung mentah pada wingko masih bisa terasa, namun hal ini tidak terjadi pada Wingko Susilowati. Ibu Susilowati sendiri cukup senang bisa sedikit membuka lapangan kerja untuk tetangga-tetangganya. Saat ini sekitar 22 orang yang membantu proses produksi yang semuanya adalah orang di daerahnya.

Wingko yang ditawarkan ini mempunyai masa kadaluarsa hingga 5 hari. Cukup pas untuk dijadikan hantaran ke luar kota. Wingko Susilowati ditawarkan dengan harga Rp 10.000,- untuk 1 dos yang berisi 12 biji. Selain wingko, Ibu Susilowati juga memproduksi kue kacang, namun ini diakuinya hanya sebagi selingan saja. Kue kacang ini ditawarkan dengan harga Rp 6.500,- dan bisa tahan hingga 1 bulan.

Saat ini Ibu Susilowati sudah merasa cukup senang karena usahanya bethaun-tahun sudah menjadi usaha yang stabil. Hanya kendala yang ia rasakan adalah seringnya naik-turun harga bahan makanan. Ketika harga bahan pokoknya untuk membuta wingko naik, ia tidak tega untuk menaikkan harga jual wingko, karena sering terjadi beberpa waktu kemudian harga bahan pokok kembali normal. Inilah yang saat ini selalu membuatdirinya pusing. Tapi satu yang paling menghiburnya adalah hasil usahanya kini sudah bisa menghidupi keluarganya.

Batik Tulis Girisari Girirejo, Awet dan Berseni Tinggi


Pada sebuah acara kawinan, mempelai wanita mengenakan kain batik sidomukti, sedangkan orangtua mempelai mengenakan batik motif truntum. Kemudian pada upacara mitoni, si calon ibu tampil berbalut kebaya dengan motif asih.

Walau tampaknya sederhana, kain batik di Jawa mempunyai perannya masing-masing. Termasuk di Jogja saat ini yang masih kental dengan upacara-upacara adatnya. Dalam upacara tersebut, pakaian yang tidak pernah absentadalah batik. Batik dipakai sebagai pasangan kebaya, atau kalau yang lebih modern, kain batik disulap menjadi kemeja dan kebaya. Jogja juga menjadi surganya kerajinan batik

Memperhatikan tiap ukiran motif-motif batik, tentu kita penasaran, bagaimana membuatnya hingga menjadi lembaran kain batik tersebut. Batik sendiri sekarang tersedia dalam berbagai macam dilihat dari pembuatannya. Batik tulis, batik printing, dan batik cap. Tentu saja kualitas terbaik ada pada batik tulis. Batik yang proses dibuat secara tradisional ini jelas mempunyai seni yang tinggi. Memerlukan waktu yang lama untuk bisa mengerjakannya. Serta butuh perhatian tinggi untuk membatiknya dengan malam.

Imogiri yang kaya akan kerajinan batik tulisnya memang menyediakan banyak alternatif. Satu yang menjadi pilihan di Imogiri adalah koleksi batik tulis di Batik Girisari Girirejo. Kios batik yang dikelola oleh Bapak Slamet (46) ini menyediakan banyak pilihan kain batik tulis, terutama kain batik soga Jogja.

Bapak 2 anak ini memulai karirnya ketika masih kecil ia sudah menyukai dunia per-batikan. Ia mulai dengan belajar membatik, dan banyak mengikuti kursus-kursus batik. Awalnya ia hanya pembatik pada sebuah kios milik orang lain. Pada tahun 1985, ia bersama teman-temannya memutuskan untuk bekerja sama mendirikan kios sendiri yang menjual kain hasil karya sendiri. Hingga saat ini ia bersama 20 orang pembatik lainnya-lah yang menjadi produsen di Batik Girisari Girirejo ini.

Menurut Bapak Slamet, satu keunggulan batik tulis dibanding batik printing dan cetak adalah keawetannya, karena warna tidak cepat pudar seperti jenis lainnya. ditambahkannya lagi, dalam setiap upacara dan perayaan adat, orang akan lebih mantap dengan memakai kain dengan batik tulis. "Ini lebih pada kepercayaan dan sugesti yang dirasakan," tambahnya.

Untuk harga, sebuah kain batik tulis dihargai dari tingkat kesulitan dan detail motif lukisannya serta jenis kainnya. Di kios ini, sebuah kain batik semisal motif pringgodani, asih, dan prabu anom yang tingkat detailnya rumit, dihargai Rp 1.000.000,- sampai Rp 2.000.000,-. Namun harga ini sebanding dengan nilai seni yang didapat dari kain batik tersebut. Per lembarnya bisa dibuat hingga memakan 2 bulan waktu pengerjaan. Sedangkan untuk batik tulis lainnya, harga berkisar Rp 100.000,- ke atas.

Dari jenis kain, kios ini menawarkan kain dengan bahan sutra, prima, dan primisima. Meskipun mengandalkan batik tulis, tapi di kios ini juga ditawarkan sedikit batik printing dan batik cap yang harganya memang jauh lebih murah dibanding batik tulis. Juga ada batik modern, dengan motif yang banyak dimodifikasi dan dengan warna sintetis yang lebih beragam

Sempat kios ini menawarkan kemeja-kemeja batik jadi, namun menurut Bapak Slamet, kemeja pasarnya lebih susah. Akhirnya Bapak Slamet kembali berfokus pada kain batik tulisnya. Hingga kini, yang banyak disayangkan adalah kain batik yang penggunannya semakin berkurang. Ini disebabkan antara lain masyarakat menganggap mengenakan batik terkesan ribet, dan kesan etniknya terlalu kuat sehingga hanya cocok dipakai pada event tertentu saja. Padahal sekarang batik telah dimodifikasi sedemikian rupa agar masyarakat lebih menyukainya.

Batik Girisari Girirejo beralamat di Pajimatan RT/RW D5/6 Girirejo, Imogiri, Bantul. Juga bisa ditemui di Pasar Seni Gabusan Los4/Kav.1. Untuk menjaga keawetan kain batik, diperlukan perawatan yang khusus untuk kain batik. Tidak rumit, cukup dicuci biasa dan diangin-anginkan tanpa sinar matahari yang keras. Nah, kalau sudah beli batik, ayo berangkat ke kondangan

Komunitas Teater La Giente's, Angkat Humor Artistik


Berawal dari ide mereka untuk dapat berkumpul, akhirnya anak-anak alumnus SMU 8 Yogyakarta ini membentuk sebuah komunitas bersama. Komunitas teater yang berdiri sejak 10 November 2005 ini diberi nama La Giente's. Mereka ingin selalu menghasilkan sesuatu yang baru dari input atau masukan yang didapatkan dari mana saja. La Giente's juga mempunyai sebuah pandagan bahwa sesuatu yang baru akan muncul terus dari ide-ide karya mereka sendiri. Di balik itu, mereka mengusung prinsip dasar untuk mendapat apresiasi di tiap penampilan mereka. Dan apresiasi tersebut akan mereka tampung untuk mengembangkan ide baru.

Dengan mengambil genre humor artistik, mereka bermaksud agar semua penontonnya dapat melihat humor itu sendiri dalam setiap aspek yang mereka pentaskan. Mulai dari setting, kostum dan lain sebagainya. "Kebanyakan selama ini jika seseorang menampilkan sebuah karya humor maka hanya ucapan atau lawakannya saja yang mereka tonjolkan. Namun kami ingin agar para penonton juga dalam melihat sisi humor tersebut dalam setiap hal yang kami tampilkan," ungkap Genta di sela-sela kesibukannya melatih anak-anak teater 10 SMU 8 Yogyakarta.

La Giente's beranggotakan sekitar 20 hingga 30 orang, namun tidak seluruhnya aktif. Yang terbilang aktif hanya sekitar separuhnya orang saja. Anggotanya terdiri dari beragam universitas yang berbeda. Program kerja mereka sangat fleksibel dan tergantung pada waktu dan keadaan, salah satunya adalah mengadakan latihan rutin 1-2 kali dalam seminggu, serta kumpul-kumpul untuk mengeratkan seluruh individu dalam komunitas itu. Selain latihan rutin, mereka juga memiliki kegiatan rutin, yakni mengadakan pentas 2 bulanan. Dan setip hari ulang tahunnya, mereka pun mengadakan acara untuk menyemarakan hari spesial tersebut.

Di luar acara rutin, La Giente's sering pula berpentas di acara lain, atau bahkan membuat event dan acara pertunjukkannya sendiri. Berbagai pengalaman telah mereka kumpulkan. Mulai dari berpentas di acara Jogja Bangkit, sebuah acara yang diselenggarakan oleh para alumnus ISI dalam rangka mengenang gempa yang melanda Jogja pada 27 Mei 2006. Lalu mengikuti event JAVA Hahaha, sebuah acara tahunan yang diselenggarakan oleh Java Cafe. Hingga kegiatan berbagi ilmu kepada adik-adik mereka di SMU 8 Yk. Selain mengikuti even-even besar seperti yang ada di atas, komunitas ini juga selalu turut meramaikan pentas 17-an di tempat berkumpul mereka di Tukangan.

Rencana ke depannya, mereka ingin tetap eksis dan bisa berproses. Komunitas ini memang tidak sepenuhnya berbau teater, namun mereka juga memasukan seluruh unsur seni ke dalam setiap latihan atau pertunjukkan mereka. Mereka juga mempelajari tari, musik dan seni untuk mendisain setting pertunjukkan mereka. "Sebenarnya nama lengkap komunitas ini adalah laboratorium Seni," ungkap Lisa.

Apabila ingin mengenal lebih dalam mengenai komunitas ini, atau bahkan bergabung untuk mengekspresikan diri, La Giente's bisa dihubungi melalui Wawan (08195531228) dan Genta ( 08157976306). Atau bisa juga langsung datang ke Tukangan DN II, Jogja.

Open Circuit Community


Open Circuit Community (OCC) adalah suatu wadah yang menyediakan media sebagai ruang ekspresi anak muda Jogja, khususnya dalam bidang budaya visual. Berawal dari komunitas visual foto dan lukis, komunitas ini berkembang dan kemudian bertujuan untuk mendukung produksi anak muda dengan cara menyediakan media sebagai tempat mereka memamerkan karya maupun mempresentasikan karya dalam bidang visual. Tak harus foto atau lukis, saat ini OOC membuka kesempatan bagi mereka yang berkarya di bidang visual apa pun, bahkan hingga film ataupun desain grafis.

Pada awal berdirinya, OCC bekerja sama dengan Outmagz, dan bernama Outmagz Circuit Community. Namun kerjasama ini tidak berjalan lama karena Outmagz kemudian berganti manajemen dan pindah ke Jakarta. OCC pun ikut mengganti kata "Outmagz" di namanya dengan kata "Open". OCC sendiri didirikan oleh 4 orang yaitu Pitra, Hendra, Daniel, dan Sujud.

Keanggotaan dari komunitas ini bersifat terbuka untuk umum. Walaupun keanggotaan terbuka di sini dimaksudkan informal, akan tetapi untuk managemen dari OCC ini sendiri bersifat tertutup. Sampai saat ini hanya terdiri dari 4 orang, yaitu pendirinya. OCC juga menjalin hubungan kerja sama dengan pihak luar yang mendukung tujuannya, antara lain dengan Mes56 dan Yayasan Seni Cemeti. Managemen dari komunitas ini tidak menetapkan pertemuan rutin, pertemuan rutin hanya dilakukan jika ada event-event tertentu.

Dalam rangka mencapai tujuannya, OCC telah mengadakan beberapa kegiatan di kalangan anak muda Jogja. Mulai dari pameran, workshop, ataupun sekedar presentasi. Beberapa pameran yang telah diadakan oleh OCC antara lain 135° Art or Product? yang bekerja sama dengan mahasiswa Kobe University, Jepang, dan Road Trip. Sedangkan untuk workshop, OCC telah mengadakan workshop pembuatan majalah untuk anak SMA yaitu "Bikin Zine Itu Gampang". Event-event yang mereka adakan biasanya bertempat di basecamp mereka sendiri, yaitu di Jl. Nagan Tengah No. 8 Alun-Alun Kidul, Yogyakarta. Bila tertarik untuk bergabung, bekerja sama, ataupun sekedar ingin tahu, hubungi saja Pitra (0815-7801-8157) atau email ke opencircuitcommunity@yahoo.com

Makam Raja-Raja Imogiri


Makam kerajaan Imogiri terletak di sebuah bukit dengan sekitar 12 km dari Jogja. Makam ini tak hanya merupakan makam keluarga kraton Jogja, namun juga merupakan makan keluarga kraton Surakarta. Makam Imogiri memiliki satu pintu utama untuk pengunjung umum, sedangkan keluarga kerajaan yang ingin berkunjung dapat melalui pintu khusus yang telah disediakan.

Makam Sultan Agung Hanyokrokusumo, raja ketiga dari Kerajaan Islam Mataram, terletak pada puncak bukit. Sultan Agung adalah keturunan dari Panembahan Senopati yang merupakan pahlawan saat penyerangan terhadap Belanda di Batavia (sekarang Jakarta) pada tahun 1628 M. Sultan Agung dan semua raja-raja keturunannya, baik keluarga kerajaan dari kraton Jogja maupun kraton Surakarta dimakamkan di makam keluarga kerajaan Imogiri ini.

Makam kerajaan yang dibangun pada tahun 1645 ini merupakan lokasi yang menarik untuk dikunjungi dalam rangka mengenal kebudayaan dan sejarah kraton. Bila ingin mengunjungi makam keluarga kerajaan Imogiri, para turis harus mengenakan pakaian tradisional Jawa.

Untuk mencapai lokasi makam yang terletak di puncak bukit, terdapat sebanyak 345 anak tangga yang harus didaki. Makam kerajaan Imogiri hanya dapat dikunjungi pada hari Senin pukul 10.00-12.00 WIB atau Jumat pukul 13.00-16.00 WIB.

Kemegahan Candi Borobudur


Walau terletak di luar kota Jogja, Candi Borobudur merupakan tujuan wisata yang tak boleh terlewat bagi turis yang berkunjung ke Jogja. Tepatnya, Candi Borobudur terletak sekitar 40 km dari Jogja, di propinsi Jawa Tengah. Sesuai dengan arti namanya, Bara yang berarti kompleks biara dan Budur yang berarti atas, Candi Borobudur terledak di atas sebuah bukit. Menutupi puncak sebuah bukit, Candi Borobudur memanglah sebuah candi yang amat besar.

Perjalanan menuju Candi Borobudur dari Jogja dapat ditempuh selama kurang lebih 1 jam dengan kendaraan bermotor. Sampai di lokasi parkir, perjalanan sekitar 15 menit masih harus ditempuh dengan berjalan kaki melewati taman bunga dan tangga. Kemegahan Candi Borobudur pun telah tampak walau masih dari kejauhan.

Didirikan antara tahun 750 dan 850 M pada masa dinasti Syailendra, Candi Borobudur merupakan candi Budha terbesar yang ada di muka bumi. Pada masa itu, Candi Borobudur adalah pusat spiritual agama Budha di Jawa. Karenanya, Candi Borobudur dan seisinya memiliki berbagai simbol keagamaan agama Budha. Pembangunan Candi Borobudur sendiri membutuhkan waktu sekitar 30-60 tahun. Ada bukti yang menunjukkan bahwa Candi Borobudur saat itu tak hanya berupa bangunan batu polos seperti saat ini. Dinding batunya dulu pernah dilapisi dengan plaster berwarna putih dan dicat.

Karena kekacauan keadaan politik akibat perebutan kekuasaan, Candi Borobudur mulai ditinggalkan. Meletusnya Gunung Merapi mengakibatkan Candi Borobudur terkubur dan 'hilang'. Ditinggalkan dan diabaikan selama sekitar 1000 tahun membuat keadaan fisik Candi Borobudur rusak. Pada tahun 1814 Candi Borobudur kembali ditemukan oleh Sir Thomas Stamford Raffles yang sedang berkunjung ke Semarang dan mendengar laporan mengenai ditemukannya bukit penuh dengan batu yang dipahat. Candi Borobudur pun segera direstorasi.

Untuk mengelilingi kompleks Candi Borobudur, dibutuhkan waktu yang tidak sedikit, karena memang sangat luas dan penuh dengan detail yang menarik. Terdiri dari 10 tingkat, Candi Borobudur memiliki kisah-kisah Budha yang dipahatkan pada sepanjang dindingnya. Berkat bantuan seorang pemandu wisata yang tersedia di lokasi, cerita lengkap mengenai perjalanan tersebut dapat dinikmati sembari berjalan berkeliling Candi Borobudur. Patung Budha terdapat di dalam stupa-stupa yang menghiasi lantai paling atas dari Candi Borobudur, tempat yang amat nyaman untuk menenangkan dan menyegarkan diri. Juga untuk beristirahat sejenak setelah perjalanan mengelilingi Candi Borobudur dari lantai pertama. Karena, tak hanya stupa-stupa, pemandangan alam sekitar dari tingkat ini pun sangat indah.

Selain menjadi simbol tertinggi dari agama Budha, stupa dari Borobudur adalah replika dari jagad raya. Hal itu menyimbolkan mikro-kosmos, yang terbagi menjadi 3 tingkat. Tingkat pertama adalah dunia manusia di mana keinginan dipengaruhi oleh impuls negatif. Tingkat kedua, dunia di mana manusia telah dapat mengendalikan impuls negatifnya dan menggunakan impuls positifnya. Dan di tingka paling tinggi, dimana dunia manusia tak lagi dibatasi oleh hal-hal fisik dan keinginan-keinginan.

Dengan membayar tiket masuk sebesar Rp 9000,- (11 USD untuk turis mancanegara), kemegahan dan keindahan Candi Borobudur dapat dinikmati dengan sepuasnya. Tak hanya saat jam kerja, Candi Borobudur juga dapat dikunjungi sesaat sebelum matahari terbit bagi mereka yang tertarik untuk melihat terbitnya matahari dengan nuansa yang berbeda.(ind)

Pesona Tebing Karang di Pantai Siung, Tak Hanya Sekedar Pasir dan Laut


Bukan hanya Pulau Bali yang memiliki jejeran pantai berpasir putih, Propinsi D.I. Yogyakarta pun memiliki jejeran pantai indah berpasir putih di sepanjang pesisir pantai selatan Kabupaten Gunung Kidul. Salah satu pantai berpasir putih yang pantas dijadikan sebagai referensi adalah Pantai Siung yang tepatnya terletak di Dusun Duwet, Desa Purwodadi, Tepus, Gunung Kidul, DIY. Pantai dengan tebing karang tinggi ini wajar bila lantas menjadi pantai favorit. Selain keindahannya, pantai ini didukung oleh suasananya yang tenang. Maklum saja, karena bukan objek wisata utama, seperti Baron, Sundak atau pantai Kukup, Pantai Siung memang cenderung lebih senyap. Letaknya yang harus ditempuh perjalanan selama 2,5 jam dari Jogja dengan kendaraan bermotor mungkin juga penyebab sedikitnya wisatawan yang mampir ke daerah ini. Hal itulah yang akhirnya semakin menggugah hasrat trulyjogja.com untuk mengisi suatu weekend dengan camping hura-hura di sana. Membayangkan memiliki pantai indah itu sendirian sepanjang malam.

Sepanjang perjalanan menuju Pantai Siung kami sudah dimanja dengan hamparan bukit bertanah merah dengan pepohonan jati yang meranggas karena kemarau panjang. Namun sebenarnya di musim hujan, daerah ini akan tampak jauh lebih hijau. Di sinilah nilai lebih kabupaten Gunung Kidul, walaupun terkenal sebagai daerah tandus dengan musim keringnya yang panjang namun tidak lantas menjadikan kawasan ini tanpa daya tarik. Setelah menempuh perjalanan selama hampir dua setengah jam melewati berbagai tanjakan dan kelokan, akhirnya hamparan pantai berpasir putih pun terlihat.

Begitu memasuki area parkir, para pengunjung akan langsung disambut oleh tebing dan karang yang tinggi. Berbeda dengan pantai lain di Jogja, suguhan Pantai Siung tak hanya berupa pasir putih dan air laut yang tenang. Jajaran tebing-tebing yang mengelilingi pantai layak untuk ditaklukkan. Dengan sedikit mendaki, pemandangan yang didapat akan meninggalkan kesan tersendiri. Bahkan terdapat sebuah tempat yang tersembunyi di balik tebing-tebing, dengan hamparan rumput yang lumayan luas dan sebuah gazebo tradisional. Laut yang luas dengan bingkai tebing pun menjadi latar belakang pemandangan di sana.

Pesona tebing karang yang ditawarkan oleh Pantai Siung inilah yang akhirnya menobatkan objek wisata pantai Siung sebagai kawasan wisata minat khusus panjat tebing, yang diidentifikasikan secara simbolik dengan rumah panggung bernama Pondok Pemanjat, tempat khusus bagi para pemanjat yang ingin menjajal kemampuannya di sini. Selain fasilitas untuk para pemanjat, tersedia pula Ground Camp bagi pencinta kegiatan berkemah. Pantai Siung memang tempat yang tepat untuk bersenang-senang dengan alam.

Tapi jika Anda seseorang yang sangat gemar bermain air dan berlarian mengejar ombak di pinggir pantai pasir, jangan terlalu berharap banyak dari pantai ini. Sepanjang pinggir pantai tidak dibingkai oleh pasir putih nan halus melainkan karang dan bebatuan laut yang kurang bersahabat dengan telapak kaki kita. Solusinya, jangan lepaskan sandal Anda. Namun justru karang-karang inilah yang mengamankan Pantai Siung dari terjangan langsung ombak besar, yang mungkin menyeret para penggemar air yang nekat. Karang-karang tersebut berfungsi sebagai pemecah gelombang alami. Seorang teman yang juga gemar mengajak keluarganya bersahabat dengan alam menyatakan kesannya tentang Pantai ini "Dulu Pantai Siung jauh lebih indah, ketika pertama kali diresmikan, ikan-ikan terlihat berenang bebas di lautan bahkan dari jarak yang cukup dekat. Namun walaupun begitu, pantai Siung memang menarik dan memiliki magnet kuat untuk menarik kita kembali lagi."

Melihat jauhnya perjalanan menuju ke Pantai Siung, tak ayal banyak yang memilih untuk berkemah di lokasi ini dibandingkan harus berangkat dan pulang dalam satu hari. Dengan berkemah, mereka juga mendapat banyak kegiatan tambahan. Mulai dari melihat sun set, moon rise, hingga berburu gurita di malam hari dengan bantuan obor. (dee)

Berwisata di Museum Batik Yogyakarta, Pelajari Warisan Budaya


Jogja tidak hanya terkenal dengan gudeg. Ada lagi kekhasan lain yang dimiliki kota pelajar ini. Tak lain tak bukan adalah batik. Sampai saat ini peninggalan budaya ini masih coba dipertahankan dengan berbagai macam cara. Salah satunya dengan menyimpan dalam sebuah museum, yaitu Museum Batik Yogyakarta.

Lokasinya yang cukup dengan pusat kota, di Jl. DR. Sutomo 13-A, Jogja, memberikan kemudahan bagi para pelancong untuk dapat menjangkau obyek wisata ini. Setiap harinya, museum ini buka dari hari Senin sampai dengan Sabtu, mulai dari pukul 09.00 - 12.00 WIB dan pukul 13.00 - 15.00 WIB. Sedangkan hari Minggu dan hari besar lainnya, Museum Batik Yogyakarta ikut libur.

Sejak pertama kali didirikan, museum ini ingin berusaha melestarikan salah satu seni budaya dalam hal pengelolaan tradisi berpakaian. Selain itu Museum Batik Yogyakarta ingin memberikan gambaran kepada generasi saat ini dan yang akan datang tentang seni budaya bernilai tinggi yang dimiliki bangsa Indonesia, khususnya dalam hal seni budaya batik.

Berdiri sejak 12 Mei 1979, Museum Batik Yogyakarta merupakan salah satu museum batik yang mempunyai koleksi terlengkap dari berbagai daerah, Jogja, Solo, hingga Pesisir. Mulai koleksi batik yang berumur sangat tua sampai batik yang pembuatannya diolah secara modern.

Beberapa koleksinya adalah Kain Panjang Soga Jawa (1950-1960), Kain Panjang Soga Ergan Lama (th tidak tercatat). Sarung Isen-isen Antik (1880-1890), Sarung Isen-isen Antik (kelengan) (1880-1890) dan Sarung Panjang Soga Jawa (1920-1930). Ada yang unik, semua koleksi yang ada dalam museum ini merupakan koleksi yang dimiliki oleh keluarga pendiri Museum Batik Yogyakarta.

Walau museum ini memang hampir seluruh koleksinya di dominasi oleh koleksi batik, namun ternyata Museum Batik Yogyakarta juga menyimpan koleksi lain yang tak kalah menarik. Koleksi lain itu adalah sulaman. Biasanya sulaman itu bergambar pahlawan nasional serta pahlawan internasional. Meski koleksinya tak sebanyak koleksi batik, koleksi sulaman tetap menarik juga untuk diamati.

Di Museum Batik Yogyakarta, ada penawaran menarik lainnya bagi pengunjung. Mereka yang ingin belajar membatik bisa mewujudkan keinginannya itu. Pihak museum menyediakan jasa untuk kursus membatik. Per paket dikenai biaya Rp 250.000,- untuk 5 kali pertemuan. Sedangkan untuk per jamnya dikenakan biaya Rp 25.000,-. Enaknya lagi, jadwal kursus bisa disesuaikan oleh keinginan pengunjung, asal menurut jam kerja dari museum ini.

Selain itu, bagi pengunjung yang ingin tertarik untuk memiliki beberapa koleksi yang ada di museum ini. Disediakan pula beberapa koleksi yang siap dibawa pulang. Untuk melihat keselurahan koleksi, pengunjung dikenakan tarif sebesar Rp 15.000,-. Bagi para wisatawan yang akan berkunjung ke Jogja, atau masyarakat Jogja sendiri, museum ini bisa menjadi alternatif untuk berlibur. Menyenangkan bukan, melancong sekaligus memperoleh pengetahuan baru. Selamat berkunjung! (ven)

Studio Kasatmata, Hidupkan Tontonan Animasi

Minggu, 17 Agustus 2008


Kalian tentu tahu film Homeland, bukan? Salah satu film animasi terbaik yang pernah turut mewarnai jagad perfilman tanah air kita. Selain muatan edukasi dan bisa dinikmati semua umur, Homeland menyuguhkan tampilan animasi yang memukau. Tapi, siapa yang berada di balik film ini?

Film Homeland dibuat oleh sekelompok anak-anak muda yang yang bergabung di Studio Kasatmata. Para animator atau pembuat film Homeland ini adalah asli anak-anak Jogja. Hebat, memang. "Mungkin semua orang mengira bahwa untuk membuat film animasi harus jauh-jauh ke Jakarta tetapi tidak harus begitu, di Jogja pun kami bisa membuatnya," ungkap Rimbar dengan santai.

Komunitas anak-anak pecinta film animasi maupun animatornya sendiri telah bernaung di dalam Studio Kasatmata yang berada di utara terminal Condong Catur, Jogja. Berdiri sejak Febuari tahun 2002, saat ini Kasatmata mencapai 14 orang, dan kesemuanya masih aktif di dalam komunitas ini. Walau diketuai oleh Mas Kelik, namun sistem hierarkis ini rupanya sangat fleksibel. "Istilah ketua hanya digunakan untuk acara-acara resmi atau tertentu saja, namun dalam keseharian semua sama saja, tetap berteman," tambah Rimbar.

Komunitas ini bukan saja hanya sebagai tempat kumpul-kumpul saja, namun segudang prestasi juga telah mereka raih. Coba saja kalian main ke studio ini, berbagai piagam dari even nasional dan lokal terpajang rapi di ruang tamu mereka. Berbagai festival yang pernah mereka ikuti, mulai Festival Animasi Nasional, Festival Film Independen Indonesia, Festival Kesenian Yogyakarta dan terakhir adalah Jogja Asia Film Festival (JAFF) kemarin.

Program kerjanya tak muluk-muluk, yaitu membuat film animasi sebanyak-banyaknya. Sehingga untuk kedepannya akan ada sesuatu yang kontinyu. Para animator di Studio Kasatmata ini juga sering dibanjiri proyek dari pemerintah untuk membuat iklan atau penyuluhan masyarakat, seperti iklan listrik dengan maskot Kak Billy-nya, dan juga program penyuluhan tentang bencana alam. Selain itu, mereka juga dipercaya untuk menerima para siswa-siswi tingkat SMK atau perkuliahan untuk menimba ilmu di studio mereka.

Mengenai rencana ke depan komunitas ini, Rimbar mengatakan bahwa mereka ingin membuat sebuah film animasi yang berduarasi panjang. "Jika hanya membuat film animasi dengan durasi pendek, mungkin banyak orang sudah bisa melakukannya. Namun untuk yang durasi panjang saya rasa belum banyak yang mau membuatnya," ungkap wanita yang menimba ilmu di Fakultas Perikanan ini.

Diakui oleh Rimbar bahwa apresiasi tentang film animasi memang belum terlalu tinggi. Ini tentunya menjadi ganjalan tersendiri bagi dunia animasi. Ini jugalah yang membuat banyak para animator dari studio atau daerah lain mengalami pasang surut di perjalanannya. Akan tetapi, komunitas yang didirikan oleh Bayu, Rimbar, Kelik, Doni dan Bimo ini akan tetap berkarya dan mensosialisasikan film animasi kepada khalayak sehingga pada suatu hari nanti apresiasi publik tentang animasi buatan lokal akan lebih baik lagi.

Jika kalian tertarik dengan komunitas ini atau ingin mengetahui lebih dalam lagi tentang mereka, bisa langsung datang ke Studio Kasatmata di Jl. Anggajaya I no 275B, Gejayan Condong Catur, Jogja, 55283. Kalian juga bisa menghubungi Rimbar atau Bayu di nomor (0274)7496288, atau mengunjungi mereka di www.kasatmata.com.

Angkringan dan Budaya Ngangkring Masyarakat



Kata angkringan sudah tak asing lagi di telinga masyarakat. Tempat makan khas ini bahkan telah memiliki banyak penggemar, terutama di kota Jogja. Hanya beratapkan tenda, dengan gerobak yang juga berfungsi sebagai meja, tempat ini biasanya menjajakan kopi, teh, dan jahe dengan penganan dan nasi bungkus yang dikenal juga sebagai sega kucing (baca: sego kucing) atau nasi kucing. Disebut demikian karena memang porsinya mirip dengan porsi makan kucing. Nasi bungkus yang hanya berukuran sekepalan tangan dengan lauk ikan asin, gudeg, atau suwiran ayam serta sambal. Para pelanggannya pun akan duduk di bangku yang mengelilingi gerobak dan memilih makanan sesuai selera mereka.

Dulunya, angkringan adalah tempat makan bagi para pekerja kasar yang bekerja hingga larut malam, seperti tukang becak, pedagang, hingga kuli panggul di sekitar kota, terutama sekitar stasiun Tugu. Beda dengan keadaan yang sekarang dapat dilihat. Di samping sebuah tempat makan, saat ini angkringan telah menjadi bagian dari keseharian bagi masyarakat Jogja, khususnya kaum muda. Banyak juga pembeli yang berasal dari kalangan menengah ke atas. Makan di angkringan pun menjadi sebuah trend tersendiri.

Suasana angkringan yang memang lain dari pada yang lain adalah salah satu daya tarik bagi pelanggan angkringan. Seperti halnya saat berbincang dengan sesorang pembeli, Dhita. Alasan dia makan di angkringan bukanlah harga yang murah, namun yang ia cari adalah suasana khas angkringan yang tidak dapat ditemukan di mana pun. Ini membuat dia dan kawan-kawannya selalu kembali datang untuk sekedar bercengkrama sambil menikmati teh kental, atau jahe panas, setelah jalan-jalan atau beraktifitas.

Lain lagi dengan Rudi. Dengan pakaian rapih dan mbil yang mengkilat, Rudi ikut nongkrong di angkringan untuk bertemu dangan rekan usahanya. Menurutnya, tempat yang beratmosfer nyaman ini lebih disenangi bukan untuk ngobrol ngalor-ngidul, melainkan untuk membicarakan masalah bisnis. "Lebih santai, tidak formil, dan lobi dapat berjalan dengan mulus," kelakarnya.

Angkringan yang sekarang memang telah banyak berubah. Selain sebagai tempat makan alternatif bagi yang biasa begadang, di Jogja angkringan menjadi tempat berkumpul dan ngobrol yang asyik. Sehingga dapat dengan mudah kita menemukan keberagaman karakter, budaya, suku, dan adat di sini, karena banyaknya para pendatang, terutama mahasiswa dari luar jogja. Bahkan dapat dikatakan, angkringan sekarang adalah miniatur kehidupan masyarakat yang ada di Jogja.

Terlepas dari itu semua, ada permasalahan yang juga harus jadi perhatian, yaitu keberadaan angkringan yang semakin "tersudut" di antara gedung-gedung Mall yang megah dan tempat-tempat makan yang mewah. Bagaimanapun, angkringan memiliki alur historis yang tidak bisa dianggap remeh. Karena dengan keberadaan tempat makan khas ini, rekaman kejadian dari beberapa generasi tercatat di benak para penjaja angkringan. Sebagai saksi perubahan sosio-kultur yag terjadi di kota Jogja, juga sebagai simbol dari ekonomi kerakyatan yang terus bertahan di sela perkembangan teknologi dan jaman. Bisakah terus bertahan?(

Lek Adi, Selebritis Angkringan dari Kotagede


Angkringan memang menakjubkan. Lapak kakilima super sederhana ini sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari warga Jogja, maka tak heran bila gerobak-gerobak angkringan mulai bermunculan di mana-mana tatkala kegelapan mulai menyelimuti. Meskipun banyak jumlahnya, hanya segelintir angkringan yang menyandang gelar angkringan elite saking terkenalnya. Salah satunya berlokasi di silver city Kotagede.

Angkringan yang terletak di daerah tusuk sate ini adalah suatu fenomena yang membingungkan. Meskipun telah tersohor dengan brand 'Angkringan Lek Adi', angkringan ini malah memajang spanduk oranye besar bertuliskan 'Nganggo Suwe' (pake' lama) berwarna merah sebagai penanda identitasnya. Asal tahu aja, jarang sekali ada angkringan yang pasang papan nama. Kejanggalan yang lain, dilihat dari sisi mana pun, tempat yang berada di bawah spanduk besar itu hanyalah warung biasa, bukan angkringan. Sama sekali tidak terlihat adanya gerobak dengan tiga ceretnya yang menjadi trademark warung angkring.

Cat hijau mudanya yang telah kotor malah mengingatkan pada warung burjo (bubur kacang ijo) yang juga menjamur di Jogja. Papan daftar menunya juga dibuat ala burjo. Saya rasa, inilah satu-satunya angkringan yang dengan jelas mencantumkan komoditas jualan lengkap dengan harganya . . . revolusioner! Angkringan . . . atau tepatnya warung kecil yang sangat sederhana itu disesaki beberapa meja dan kursi kayu panjang.

Jejak-jejak angkringan terlihat di makanan yang ditawarkan. Berbagai lauk pauk khas angkringan diletakkan di nampan-nampan dan baskom-baskom yang terserak di atas meja. Namun ada juga yang mungkin tidak bisa ditemukan di angkringan sekitar rumah Anda, seperti lele goreng, ayam goreng, bahkan puyuh dan babat goreng. Angkringan dekat rumah jelas tidak mampu bersaing karena Lek Adi menawarkan tak kurang dari 18 lauk di daftar menu. Harganya bervariasi mulai tiga ratus perak (gorengan) hingga empat ribu (puyuh).

Hal lain yang tidak mungkin disaingi angkringan biasa adalah . . . jumlah pengunjungnya. Warung yang mungil itu menjadi tempat nongkrong yang ramai sedari buka jam empat sore hingga tutup jam lima subuh. Untuk tahu rahasianya, lebih afdhol kalau Anda mencoba datang ke angkringan yang bukan angkringan ini.

Begitu datang, segera pesan minuman ke counter di pojokan warung. Saya sarankan Anda mencoba wedang jahe dan wedang asemnya yang uenaaaaakkk banget, manis dan hangat, sangat sempurna sebagai teman di musim hujan. Kalau beruntung, Anda bisa langsung mengambil nasi bungkus koran dan daun pisang yang disediakan di nampan tanpa harus menunggu. Nasi porsi angkringan ini biasanya masih hangat dengan aroma harum daun pisang yang khas. Biar lebih enak, tambahkan sambel rahasia Lek Adi sesuka hati . . . meskipun simpel, rasanya sangat jossss bila dipadukan dengan nasi yang masih mengepul.

Pilih lauk yang Anda suka. Gorengan wajib diambil, karena meskipun sudah dingin, tidak ada artinya makan nasi angkring tanpa gorengan. Favorit saya adalah sate telur puyuhnya yang coklat menggoda. Rasanya manis dengan tekstur kenyal yang asyik punya. Pantangan saya adalah saren, bekuan darah ayam yang kerap disebut sebagai 'atine wong kere' (lauk hati untuk orang miskin). Menurut saya saren itu bertekstur seperti karet penghapus . . . makanya saya nggak berani mencomot lauk yang sekilas terlihat seperti tahu bacem ini.

Kalau Anda sudah merasakan nasi hangat + sambal Lek Adi sambil ditemani wedang jahe dan asemnya, pasti tahu kenapa tempat mungil ini bisa ramai sekali dan berhasil mencapai titel elite di dalam hirarki angkringan Jogja. Coba dulu baru pecaya! (ang)

Pak To, Padang Vs Jawa yang Berbuntut Antrian Panjang


Meskipun masih kental dengan tradisi Ngayugyokarto Hadiningratnya yang Jawa banget, Jogja yang pantas disebut sebagai taman mini Indonesia indah karena keragaman penduduknya, dengan tangan terbuka tetap merangkul segala nuansa kultur yang dibawa oleh para imigran ke tanahnya. Terkadang clash of civilization ini melahirkan anak-anak blasteran unik yang malahan menjadi ciri khas Jogja.

Pak To adalah sebuah studi kasus yang menarik untuk dibahas . . . dan dilahap tentu saja. Rumah makan yang terletak di Jl. Selokan Mataram depan Fakultas Kehutanan UGM ini memang contoh sukses asimilasi budaya ala Jogja.

Dari namanya kita nggak bakalan tahu kalau rumah makan yang satu ini punya leluhur dari Kampuang nan jauh di mato. Tapi begitu melihat isi etalasenya, ada beberapa barang bukti tak terbantahkan yang menyingkap identitas rahasia ini. Pertama ada rendang daging dan berbagai gulai ala Minang. Terus ada lalapan daun singkong rebus dan mentimun yang warung Padang banget. Kalau masih belum yakin, sambal ijo (hijau) yang menjadi trademark warung Padang di seluruh dunia pasti bisa membuat Anda percaya.

Sedangkan yang didapat Pak To dari hasil serap-menyerap budaya adalah saus spesialnya yang membuat banyak orang jatuh hati. Meskipun warnanya coklat kemerahan, jangan sekali-sekali menganggap ini sambal karena rasanya yang - di luar dugaan - . . . MANIS! Coba, mana ada warung Padang yang makanannya manis? Di seluruh dunia pasti cuma Pak To! Selain itu ada lagi sambal mangga yang manis-asem-pedes-seger . . . enak!

Buat Anda yang menganggap rasa manis cuma untuk anak-anak, saya sarankan jangan menambahkan saus istimewa (yang mirip saus somay) ini ke dalam piring Anda, pasti nyesel. Tapi kalau Anda pecinta makanan manis, panjatkan puji syukur kepada Tuhan dan berbahagialah! Karena manisnya yang gurih dan legit itu pasti akan memanjakan dan membuai indra perasa Anda dengan maksimal.

Tapi sebenarnya yang membuat Pak To terkenal adalah ayam bakarnya. Senada dengan saus spesialnya, ayam bakar ini juga manis, gurih dan nikmat sekali untuk disantap. Kalau Anda tak suka manis, masih ada pilihan lain yang tak kalah nikmatnya, misalnya berbagai balado, mulai dari tahu, tempe, telur, terong, hingga kepala ikan. Tidak seperti ayamnya, yang ini dijamin pedas, dengan sedikit hiasan rasa manis-asam yang menambah selera.

Modifikasi sukses ala kota pelajar lainnya yang membuat Rumah Makan Pak To dicintai pelanggan adalah . . . harganya yang ekonomis! Rasanya sulit mencari warung Padang selevel Pak To yang pasang harga semahasiswa dan se-Jogja itu.

Dengan berbagai keunikan itu, wajar saja kalau rumah makan yang buka dari pagi hingga malam ini selalu dipadati pengunjung sampai mereka rela antri bak ular naga panjangnya untuk mengambil makanan. Masalah rasa masakan Padang keluar pakem yang unik dan menunjukkan status blasterannya itu, nampaknya malah membuat orang-orang suka. Teman-teman Padang saya banyak kok yang suka ke Pak To dan bahkan mengambil saus-spesial-manis-yang-nggak-Padang-banget itu banyak-banyak. Memang cuma di Jogja yang beginian bisa terjadi! (ang

Royal Tea a la Jogja, Sensasi Minum Teh di Istana



Ketika mendengar tentang teh, mau tak mau imajinasi kita segera melayang ke sebuah pulau yang terapung sendiri di sisi Barat Benua Eropa. (kalau Anda sampai mengira kita bicara soal Islandia . . . ketahuilah bahwa pulau es dan api itu bukan kerajaan -red) Di kerajaan yang dikuasai oleh para bangsawan dengan status selebritis internasional itu, minum teh sudah menjadi sebuah tradisi religius selama ratusan tahun.

Jogja jelas tidak kalah dengan kerajaan yang pernah menjadi penguasa dunia ini. Nuansa kebangsawanan di Jogja tidak kalah kentalnya, karena meskipun kecil, Jogja punya dua dinasti bangsawan yang hidup berdampingan di kota yang sarat keajaiban ini. Dan wisata kuliner kali ini berlokasi di halaman rumah Keluarga Pakualam, sebuah istana cantik yang berlokasi di Jl. Sultan Agung.

Nama resmi kedai teh ini adalah Lesehan Ibu Warsuki, tapi karena lokasinya, orang-orang lebih mengenalnya sebagai Teh Poci Pakualaman. Tempat kongkow yang asyik ini berada di pelataran luas di depan istana Pakualaman, di bawah rerimbunan pohon-pohon beringin raksasa yang akar gantungnya menjuntai ke mana-mana. Warung teh Bu Warsuki buka mulai pukul lima sore hingga jam dua dini hari.

Saya mengunjungi Teh Poci Pakualaman kemarin malam. Warung sederhana bernuansa outdoor ini menjadi tempat peristirahatan terakhir yang menyenangkan setelah lelah berburu di daerah Bantul bersama seorang kawan SMA. Untuk menemani obrolan dan mereview hasil tangkapan hari ini, kami memesan teh poci dan berbagai penganan kecil.

Sambil menyeruput teh hangat, kami mengintip buruan lewat layar LCD mungil. Potongan-potongan langit biru, awan putih, dan mentari senja Jogja yang cantik membasuh pergi semua rasa lelah. Buat para tukang foto pasti sangat mengerti perasaan pasca berburu yang indah ini. Namun perhatian kami teralih karena datangnya penganan yang cukup mengejutkan, sate usus.

Siapa yang tidak kaget, karena sate usus ini sangat tidak biasa. Panjangnya mungkin dua kali lipat sate usus yang normal! Karena lebih panjang, jelas saja sate usus ini jadi lebih nikmat. Apalagi sambil ditemani jadah (ketan) bakar gurih dengan aroma gosong yang merangsang. Berbeda dari jadah lainnya, tempatini juga memberikan variasi pilihan jadah goreng manis, yang ternyata diberi tambahan maisjes di dalamnya. Tapi yang paling istimewa bagi kami adalah ceker bakarnya yang enaaaaaaaak banget.

Mungkin bagi sebagian orang makan kaki ayam haram hukumnya, tapi sadarilah wahai orang-orang yang takut ceker, kalian termasuk kaum yang merugi! Ceker ayam Bu Warsuki ini benar-benar hidangan kelas satu. Setelah puas menghabisi kulit dan urat achillesnya yang empuk dan gurih, kenikmatan berikutnya adalah menggerogoti tulang-tulang ceker yang mungil. Benar-benar enak, karena bumbunya yang manis meresap sampai ke sumsum tulang! Sensasional sekali.

Akhirnya kami meninggalkan istana dengan menyisakan jejak serpih-serpih tulang yang tidak bisa dimakan. Sambil memandang bulan separo yang mengambang cemerlang di antara gerombolan awan ikan-ikan kecil© (istilah teman saya), cuma satu yang ada di pikiran saya, "Jogja memang tempat paling cantik di dunia". (ang)



Lepas Penat di Umbul Merapi


Nama tempatnya Umbul Merapi. Posisi geografisnya berada di pertigaan tusuk sate di suatu tempat di Cangkringan yang akan Anda lewati bila ingin pergi ke Padang Golf Merapi, agak susah diterangkan. Dari halaman warung yang cuma bertetangga dengan sawah dan ladang itu, Anda bisa memandang Merapi sepuasnya. Umbul Merapi berkonsep lesehan, jadi bisa rebahan sesuka hati. Ahhh, nyamannya, apalagi sambil dibuai sejuknya udara pegunungan.

Ternyata Umbul Merapi cuma menawarkan dua menu jamur dalam daftarnya. Jadi kami memesan satu porsi sate dan dua porsi Pepes Jamur. Karena belum sarapan (padahal jam sudah menunjukkan pukul 3 lebih!) saya juga memesan Nasi Goreng Ijo yang terdengar menggoda.

Pepes Jamurnya terbungkus daun pisang. Rasanya gurih dengan tekstur jamur tiram yang lembut keayam-ayaman (seperti daging ayam maksudnya). Semakin nikmat dengan tahu yang ikut di dalam bungkus daun pisang. Sate Jamurnya sekilas terlihat seperti sate usus ala angkringan. Aroma bawang merah mentah yang kuat berpadu dengan bumbu kecap membuat sate yang kenyil-kenyil ini menjadi penutup yang sempurna untuk hari petualangan kami berdua. Namun jangan lupakan Nasi Goreng Ijonya, karena nasi goreng non kecap yang gurih dengan potongan-potongan tipis buncis ini ternyata punya cita rasa yang cukup menawan. Dengan porsi merica yang nampaknya ekstra banyak, nasi goreng ini sangat cocok untuk menghangatkan badan di tengah sejuknya udara pegunungan.


Mbah Mo, Ikon Mie Jawa Jogja dari Bantul


Nama Mbah Mo memang telah menjadi salah satu ikon kuliner bakmi Jawa di Jogja.
Tempatnya ada di kawasan Code, Bantul. Cukup jauh dari kota, tapi layak ditempuh.


Hasrat untuk makan di warung makan Mbah Mo memang harus disertai dengan niat yang kuat. Selain masalah letak, banyaknya penggemar membuat antrian yang terjadi kadang sulit dipercaya.

"Saya pernah datang jam 8 malam dan harus menunggu antrian selama dua jam," cerita Nur, salah satu penggemar bakmi Mbah Mo.

Antrian yang panjang memang bukan hal yang aneh. Karena di warung Mbah Mo ini, pesanan yang masuk dimasak satu per satu, di atas tungku arang. Saran saya, datanglah pada sore hari saat baru saja dibuka, sekitar jam 5, atau justru datang setelah jam makan malam, saat pengunjung mulai menurun. Tapi resikonya, bisa-bisa Anda sudah kehabisan.

Bakmi Jawa Mbah Mo bukanlah tipe bakmi yang 'njemek'. Tekstur bakminya kecil dan kenyal. Namun yang istimewa adalah rasa gurihnya. Campuran telur bebek dan kaldu dari ayam kampung memang memberikan sentuhan citarasa tersendiri. Belum lagi pilihan daging, balungan, atau rempela yang bisa jadi 'lauk'-nya. Yang terakumulasi dalam kata 'huenaaak!'.

Selain bakminya, di warung ini saya juga punya minuman favorit. Jeruk jahe hangat. Karena warung Mbah Mo tidak menyediakan minuman dingin. Tapi minuman hangat justru baik untuk kesehatan, bukan? Apalagi setelah makan makanan yang berlemak.

Walau awalnya terdengar aneh, minuman jeruk jahe ini rupanya justru enak. Rasanya unik. Ada kecut, manis, hangat, dan segar. Wow! Selain itu, tentu saja masih ada minuman lain seperti teh jahe, jahe, teh, atau jeruk. Yang kesemuanya hangat.

Untuk mencapai warung ini dibutuhkan informasi yang lengkap dan ketelitian. Karena petunjuk-petunjuk yang ada kadang terlewat begitu saja. Yang jelas, dari perempatan Manding, belok ke kanan. Ikuti saja jalan tersebut sampai terlihat petunjuk jalan berikutnya. Atau, bisa pula bertanya pada orang sekitar. (ind)

*Awalnya, kami juga harus bertanya-tanya sebelum akhirnya menemukan warung terpencil tersebut.