a/ ;>

Angkringan dan Budaya Ngangkring Masyarakat

Minggu, 17 Agustus 2008



Kata angkringan sudah tak asing lagi di telinga masyarakat. Tempat makan khas ini bahkan telah memiliki banyak penggemar, terutama di kota Jogja. Hanya beratapkan tenda, dengan gerobak yang juga berfungsi sebagai meja, tempat ini biasanya menjajakan kopi, teh, dan jahe dengan penganan dan nasi bungkus yang dikenal juga sebagai sega kucing (baca: sego kucing) atau nasi kucing. Disebut demikian karena memang porsinya mirip dengan porsi makan kucing. Nasi bungkus yang hanya berukuran sekepalan tangan dengan lauk ikan asin, gudeg, atau suwiran ayam serta sambal. Para pelanggannya pun akan duduk di bangku yang mengelilingi gerobak dan memilih makanan sesuai selera mereka.

Dulunya, angkringan adalah tempat makan bagi para pekerja kasar yang bekerja hingga larut malam, seperti tukang becak, pedagang, hingga kuli panggul di sekitar kota, terutama sekitar stasiun Tugu. Beda dengan keadaan yang sekarang dapat dilihat. Di samping sebuah tempat makan, saat ini angkringan telah menjadi bagian dari keseharian bagi masyarakat Jogja, khususnya kaum muda. Banyak juga pembeli yang berasal dari kalangan menengah ke atas. Makan di angkringan pun menjadi sebuah trend tersendiri.

Suasana angkringan yang memang lain dari pada yang lain adalah salah satu daya tarik bagi pelanggan angkringan. Seperti halnya saat berbincang dengan sesorang pembeli, Dhita. Alasan dia makan di angkringan bukanlah harga yang murah, namun yang ia cari adalah suasana khas angkringan yang tidak dapat ditemukan di mana pun. Ini membuat dia dan kawan-kawannya selalu kembali datang untuk sekedar bercengkrama sambil menikmati teh kental, atau jahe panas, setelah jalan-jalan atau beraktifitas.

Lain lagi dengan Rudi. Dengan pakaian rapih dan mbil yang mengkilat, Rudi ikut nongkrong di angkringan untuk bertemu dangan rekan usahanya. Menurutnya, tempat yang beratmosfer nyaman ini lebih disenangi bukan untuk ngobrol ngalor-ngidul, melainkan untuk membicarakan masalah bisnis. "Lebih santai, tidak formil, dan lobi dapat berjalan dengan mulus," kelakarnya.

Angkringan yang sekarang memang telah banyak berubah. Selain sebagai tempat makan alternatif bagi yang biasa begadang, di Jogja angkringan menjadi tempat berkumpul dan ngobrol yang asyik. Sehingga dapat dengan mudah kita menemukan keberagaman karakter, budaya, suku, dan adat di sini, karena banyaknya para pendatang, terutama mahasiswa dari luar jogja. Bahkan dapat dikatakan, angkringan sekarang adalah miniatur kehidupan masyarakat yang ada di Jogja.

Terlepas dari itu semua, ada permasalahan yang juga harus jadi perhatian, yaitu keberadaan angkringan yang semakin "tersudut" di antara gedung-gedung Mall yang megah dan tempat-tempat makan yang mewah. Bagaimanapun, angkringan memiliki alur historis yang tidak bisa dianggap remeh. Karena dengan keberadaan tempat makan khas ini, rekaman kejadian dari beberapa generasi tercatat di benak para penjaja angkringan. Sebagai saksi perubahan sosio-kultur yag terjadi di kota Jogja, juga sebagai simbol dari ekonomi kerakyatan yang terus bertahan di sela perkembangan teknologi dan jaman. Bisakah terus bertahan?(

0 komentar: